Salah satu tulisan Gus Dur yang sangat saya sukai adalah kolom singkatnya berjudul “Yang Muda Yang Bercinta”. Sebagaimana tuturan Gus Dur sendiri, kolom itu merupakan refleksinya atas novel sastrawan Prancis pemenang hadiah nobel sastra, Andre Gide, yang berjudul La Porte Etroite (Gerbang yang Sempit). Sebegitu mendalamnya kesan Gus Dur terhadap novel itu hingga putri npertamanya pun diberi nama tokoh utama novel tersebut: Alissa.
Ketertarikan saya terhadap kolom Gus Dur tersebut karena terasa sedikit “aneh”, setidaknya jika dibanding tulisan-tulisan dia yang lain, yang rata-rata didominasi oleh tema-tema serius tentang isu-isu sosial, politik, budaya, dan agama. Apalagi judulnya juga terasa nge-pop banget. Kolom ini betul-betul beranjak dari sebuah karya sastra, mungkin juga bisa dibilang ini semacam “resensi” Gus Dur terhadap karya Gide tersebut.
Setelah saya pikir ulang, sebetulnya tulisan Gus Dur ini tidak sungguh-sungguh aneh jika kita mempertimbangkan bahwa Gus Dur adalah pelahap karya-karya sastra dunia. Dalam tulisannya berjudul “My Name is Abdurrahman Wahid”, R. William Liddle menceritakan bahwa suatu hari dia bertanya buku apa yang menjadi favorit Gus Dur, dan dijawab bahwa salah satu buku favoritnya adalah “My Name is Asher Lev”. Sebagai ilmuwan dari Amerika, Liddle sendiri tidak tahu buku yang disebut Gus Dur itu. Baru setelah dilacak, Liddle tahu bahwa ternyata itu adalah sebuah novel yang ditulis oleh seorang rabi Yahudi ortodoks Amerika. Keheranan Liddle mungkin seperti yang saya rasakan ketika membaca tulisan kolom pendek yang berjudul “Yang Muda Yang Bercinta” itu. Gus Dur memang tak bosan mengejutkan para pembacanya.
Gus Dur mengawali tulisannya dengan menjelaskan kompleksitas kejiwaan si tokoh utama, Alissa, yang didera cinta mendalam kepada sepupunya yang lebih muda darinya. Karena tidak ingin membuat laki-laki yang dicintai menyesal di kemudian hari, Alissa memutuskan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan dengan cara menjadi seorang biarawati, dan berjanji untuk tidak menikah seumur hidupnya, karena tidak ada cinta untuk laki-laki lain selain Jerome, sepupunya itu.
Di bagian akhir kolom tersebut, Gus Dur membuat refleksi yang sangat mendalam. Gus Dur membuat beberapa pertanyaan reflektif yang sangat mendalam dan menggugah: Apakah Tuhan harus menjadi pelarian manusia yang sedang terjepit masalah? Lalu, apa bedanya Tuhan dengan rentenir; menolong orang yang sedang dijepit masalah dengan kredit yang mencekik leher?
Biarlah pertanyaan-pertanyaan itu menggantung di sana. Sekarang marilah kita melihat realitas di sekeliling kita. Saat ini kita sedang didera wabah virus Corona yang bahkan negara terkuat di dunia, Amerika Serikat, pun dibuat kelabakan. Pemberkatan Vatikan tak sanggup menyelamatkan Itali dari keganasan virus ini. Arab Saudi pontang-panting menutup Kota Suci Mekah. India yang dipercaya sebagai pusat spiritualitas Timur dilanda kekacauan sosial akibat lockdown.
Saat seperti ini, meluncurlah beragam retorika bahwa Covid-19 adalah tentara Tuhan untuk menyadarkan manusia dari perbuatan-perbuatan dosa. Karena itu, para retoris ini meminta manusia untuk mendekat kepada Tuhan, memperbanyak ibadah, dan memohon ampunan. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada yang mengumpulkan ribuan jemaat untuk melakukan ibadah dan doa massal.
Saya bertanya dalam hati, apakah Tuhan sedang marah? Jika memang Covid-19 adalah tentara yang diutus-Nya untuk memberi pilihan kepada manusia, mati atau lari kepada-Nya, mengapa Dia tidak mengincar para hamba-Nya yang memang dibenci-Nya? Kalau Tuhan menjadi tempat pelarian orang-orang yang tidak sanggup menyelesaikan masalah yang menderanya dengan harapan Tuhan akan menolongnya, tidakkah Tuhan seperti seorang rentenir?
Di bagian akhir “yang Muda Yang Bercinta”, Gus Dur menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan dilematis ini dengan kalimat-kalimat yang sangat indah dan anggun. Menurutnya, Tuhan bukanlah seorang rentenir karena Dia tidak memanipulasi apapun. Yang diberikan-Nya kepada manusia adalah kehidupan itu sendiri, di mana manusialah yang akan menentukan apakah hidupnya hendak digunakan untuk merusak atau menyejahterakan.
Karena Tuhan bukanlah rentenir yang memanipulasi hamba-Nya, jika wabah ini dimanipulasi oleh orang-orang tertentu dengan mengatasnamakan Tuhan, maka orang-orang itulah sesungguhnya yang layak dijuluki sebagai “rentenir agama”.
Artikel ini sudah pernah diterbitkan portal keislaman alif.id dengan link Sumber
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar