Isu tentang politik identitas sudah marak sejak tahun 1970-an yang bermula di Amerika Serikat ketika menghadapi permasalahan minoritas, gender, ras, etnis, dan kelompok yang merasa teraniaya. (secara jelas lihat di buku Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita karya Ahmad Syafii Maarif, dkk). Politik identitas menonjolkan perbedaan seperti; agama, etnis, ras, gender, dalam mencapai tujuan politiknya.
Dilihat dari konsepnya politik identitas dinilai tidak selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural karena memiliki berbagai macam etnis, suku, budaya, dan agama. Dengan kata lain, jika politik identitas diterapkan dalam kontestasi politik di Indonesia akan menjadi pemicu konflik antar masyarakat Indonesia terlebih pada umat beragama.
Dampak negatif yang disebabkan oleh politik identitas sudah terlihat jelas sejak awal perkembangan Islam atau pada saat wafatnya Rasulullah Saw. Hal ini tergambarkan pada peristiwa Saqifah Bani Sa’idah, dimana Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan kaum Anshar di aula Saqifah Bani Saidah untuk mendiskusikan dan mengambil keputusan siapa yang berhak untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah Saw. Diskusi tersebut juga dihadiri beberapa dari kaum Muhajirin, setelah terjadi perdebadan panjang antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin, akhirnya Abu Bakar Ash-Siddiq terpilih sebagai pengganti Rasulullah Saw. Namun, terpilihnya Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah Saw tidak serta merta diterima oleh semua golongan. Alhasil peristiwa tersebut menjadi cikal bakal perselisihan antar umat Islam itu sendiri. (lebih jelas lihat di buku Dari Kegelapan Menuju Cahaya karya Salim Fredericks dan Ahmar Feroze).
Politik identitas terkhusus identitas agama akan menggiring umat beragama kepada formalisme agama. Formalisme agama merupakan pola beragama yang bersifat ekslusif terhadap keyakinannya sendiri sehingga mengabaikan tentang perlunya menghargai keyakinan orang lain. Selain itu, formalisme agama juga memudahkan akan adanya kepentingan ideologis dan politis dalam beragama. Kepentingan inilah yang akan memicu adanya gerakan revolusioner dan radikalisme dalam Islam. Dengan adanya radikalisme dalam Islam, maka Islam tidak lagi dipahami sebagai pencetak akhlak yang terpuji, melainkan menjadi “kendaraan politik” dan pemicu konflik yang berbasis agama.
Yaqut Cholil Qoumas atau yang kerap disapa dengan nama Gusmen, berpendapat bahwa “Politik identitas akan menempatkan agama sebagai komoditas yang murah. Ayat suci ditafsirkan semaunya, asal cocok dengan selera pemesan. Harganya mungkin setara dengan kaos partai atau ongkos mengikuti kampanye. Tokoh agama berubah menjadi juru kampanye. Fungsi tempat ibadah dan mimbar-mimbar khutbah berganti menjadi ajang caci maki kepada lawan politik. Agama pun menjadi tidak terhormat. Dan jiwa kepahlawanan tokoh agama diuji untuk menempatkan agama pada posisi yang mulia. Keteladanan tokoh agama dipertaruhkan untuk menjaga sikap dan perilaku agar tidak menjadikan agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan semata. Bangsa ini membutuhkan pahlawan-pahlawan baru yang sanggup menjaga NKRI agar tetap kondusif, aman, dan damai yang menjunjung tinggi keberagaman” (https://kemenag.go.id/opini/kepahlawanan-dan-politik-identitas-lguarm)
Mengingat bahayanya dampak dari politik identitas, umat beragama di Indonesia diharapkan tidak terjebak dalam politik identitas terutama menjelang pemilu 2024 nanti. Selain itu umat beragama juga diharapkan dapat memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme, karena dengan nilai toleransi dan pluralisme tersebut kerukunan antar umat beragama akan terwujud.
Tinggalkan Komentar
Kirim Komentar